Thursday, 30 January 2014

Kecerdasan Emosional Dalam Belajar




Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.

Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar atau mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.

Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002: 273)

Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002: 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 1998: xvii)

Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 1998: 250)

Siswa bukanlah benda mati yang hanya bergerak bila ada daya dari luar yang mendorongnya, melainkan mahluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak yaitu motivasi. Dengan adanya motivasi, manusia kemudian terdorong unutk melakukan suatu tindakan atau perilaku, yang termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk berprestasi tinggi di dalam belajar. (Irwanto, 1997: 184)

Arden N. Fardesen mengatakan bahwa hal yang mendorong seorang untuk belajar adalah:
a. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amant luas.
b. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
d. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koprasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar. (Suryabrata, 1998: 253)

Keenam poin tersebut adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa. Bila seorang siswa mampu mengaturnya dengan baik, hal tersebut menunjukan kecerdasan emosional yang baik dan akan memberikan sumbangan yang besar terhadap prestasi baiknya dalam belajar. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka siswa akan terhambat dan menhalami kesulitan dalam belajar.

Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sebaliknya siswa yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur emosi mereka.



Sebagai insan yang berada di sebuah lembaga pendidikan, apalagi Sekolah Menegah Kejuruan yang notabene siswanya adalah laki-laki menghadapi siswa “nakal” adalah hal yang biasa. Mulai dari siswa yang sering terlambat atau bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas/ PR, ribut di kelas, jajan saat jam pelajaran, tidak sholat, dan masih banyak contoh “kenakalan” lain yang kerap dilakukan siswa. Hal-hal tersebut memang benar-benar menguji kesabaran kita. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan tingkat tinggi.

Sebenarnya apakah benar ada anak diberi label “nakal”? Penulis sendiri tidak setuju bila ada siswa yang dilabeli “nakal”. Apalagi tidak sedikit guru yang memberi label “nakal” apabila ia merasa tidak sanggup mengendalikan siswanya. Di sisilain ukuran “nakal” tiap guru berbeda-beda. Sebagian guru akan menganggap siswanya “nakal” bila siswanya tidak mengerjakan PR, guru lain berpendapat siswa yang sering bolos/ tidak masuk sekolah adalah siswa yang “nakal”, sebagian lainnya menganggap siswa yang ribut saat pembelajaran adalah siswa yang “nakal”.

Menurut saya tidak ada yang namanya siswa “nakal”, yang ada adalah;
  • Siswa yang krisis identitas. Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan siswa terjadi karena siswa gagal mencapai masa integrasi kedua.
  • Siswa yang memiliki kontrol diri yang lemah. Siswa yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku “nakal”. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
  • Siswa yang kurang kasih sayang orang tua. Orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan menyebabkan kurang perhatian kepada anaknya. Tidak mengenalkan dan mengajarkan norma-norma agama kepada anaknya. Akibatnya dia akan sering bolos atau terlambat sekolah. Saat di sekolah ia akan berulah macam-macam untuk mendapat perhatian dari orang lain, termasuk kepada gurunya.
  • Siswa yang kedua orang tuanya tidak harmois atau bahkan bercerai. Suasana di rumah yang tidak nyaman akan menyebabkan anak tidak fokus saat pelajaran. Kedua orang tua yang seharusnya melidungi dan memberi contoh yang baik justru menjadi akar permasalahan anaknya.
  • Siswa yang menjadi “korban” dari saudara atau teman sepermainannya. Tipe anak seperti ini akan melakukan hal yang sama pada anak lainnya karena ia adalah ‘korban’ dan berusaha untuk membalas dendam.
  • Siswa yang mendapat tekanan dari orang tua. Tekanan ini bisa berupa tuntutan orang tua yang terlalu tinggi akan prstasi anaknya di sekolah atau peraturan di rumah yang terlalu ketat/ mengekang. Akibatnya bisa bermacam, siswa bisa pendiam tapi juga bisa “nakal” karena merasa ingin bebas.
  • Siswa yang mengalami kekerasan dalam lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya masalah ekonomi. Siswa yang mengalami kekerasan di rumah, maka saat di sekolah ia akan menunjukkan sikap memberontak kepada gurunya atau bahkan melakukan kekersaan seperti apa yang ia alami.
  • Siswa yang salah bergaul. Lingkungan memang sangat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sikap siswa. Pergaulan yang kurang tepat atau menyimpang salah bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.
Itulah beberapa sebab mengapa siswa berperilaku “nakal” saat di sekolah. Saat kita tahu latar belakang masalah perikau murid kita, tentunya kita akan merasa iba dan kasihan. Oleh karena itu mari kita sebagai pendidik mulai untuk menghentikan label negatif kepada siswa.

Beberapa tips di bawah ini bisa kita coba untuk mengatasi perilaku siswa yang “nakal”, adalah:
  1. Berdo’a untuk anak terebut. Ucapkan namanya setiap kita berdo’a. Berharaplah apa yang kita minta akan dikabulkan Allah dan saat kita menghadapinya Allah mengkaruniakan kesabaran pada diri kita. Yakinlah dia akan berubah, karena keyakinan itu adalah doa. Dia pasti berubah, entah itu besok, lusa, atau kapanpun.
  2. Carilah info yang lengkap tentang siswa yang dianggap “nakal”. Tujuannya adalah agar kita lebih paham tentang latar belakanngya. Harapanya kita akan lebih bisa bersabar dan pengertian dalam menangani perilakunya.
  3. Hentikan ucapan atau label “nakal” pada siswa tersebut. Kita tahu ucapan adalah do’a. jika kita mengucapakan kata nakal, secara tidak langsung kita berdo’a agar dia menjadi nakal. Katakanlah yang baik-baik untuknya, walau bagaimana pun perilaku dan perkataannya.
  4. Panggilah dia ke runag BK atau masjid. Ajaklah dia berbicara empat mata dan dari hati ke hati. Tanyakanlah kepada siswa tersebut tentang harapannya, permasalahannya, atau sebab dia berbuat “nakal”. Dengan hal ini kita jadi lebih tahu tentang dirinya dan permasalahan yang sedang ia hadapi. Pada akhirnya, berilah ia solusi, motivasi dan arahan.
  5. Latilah dia dengan rasa tanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan dengan kita memberikan dia kepercayaan. Contoh: menjadi muadzin, mengumpulkan kas kelas, membantu kita merekap buku tabungan, atau dengan melibatkan dia dalam kegiatan OSIS dan ROIS (meskipun dia bukan penggurus OSIS dan ROIS). Hal ini akan membuat dia merasa dibutuhkan dan diperhatikan. Tujuan akhirnya adalah agar dia tahu mana hak dan kewajibannya/ tanggung jawabnya sebagai siswa.
  6. Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. Maka, tergurlah dengan pelan-pelan dan jangan dibentak atau dimarahi. Karena siswa tipe seperti ini tidak akan berubah bila dimarahi. Mereka butuh didekati, diperhatikan, dan diajak berdiskusi, serta berilah mereka motivasi agar bisa berubah menjadi lebih baik. Katakan pada mereka “saya yakin kamu bisa lebih baik lagi dari kamu yang sekarang”. “saya akan merasa bangga bila kamu bisa lebih baik dari kamu yang sekarang”.
  7.  Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. janganlah diberikan hukuman fisik, seperti push up, set up, atau jalan jongkok. karena, hal ini justru akan menimbulkan rasa dendam dan jiwa melawan/ membangkang pada siswa. Tapi berikanlah dia hukuman seperti sholat dhuaha atau membaca Al-Qur'an.
  8. Buatlah perjanjian bila siswa tersebut berbuat “nakal”. Rekamlah dengan HP dan suruhlah dia mengucapkan janji agar tidak mengulangi perbuatannya. Bila dia mengulangi lagi, panggillah siswa tersebut dan putarlah rekamannya.
  9. Berilah dia pilihan. Berbuat baik konsekuensinya baik atau berbuat “buruk” konsekuensinya buruk.
  10. Bila siswa tersebut berbuat baik. Maka, pujilah dia. Pujian kita akan mebuat dia merasa bahwa usahanya dihargai dan diperhatikan oleh orang lain.
Itulah sedikit tips dari penulis. Semoga dapat memberikan manfaat. Prinsipnya adalah tidak ada siswa yang “nakal”. Yang ada adalah siswa kurang perhatian dan salah bergaul. Percayalah mereka bisa berubah. Perubahan itu akan bisa terjadi bila dimulai dengan strategi dengan menggunakan pendekatan hati. Bisa melalui tangan kita, atau mungkin tangan orang lain. 
Semoga bermanfaat dan selamat mencoba ................................

Wednesday, 29 January 2014

Pendidikan di pesantren



Revitalisasi Pendidikan Pesantren

by : http://yakhsyam.blogspot.com:

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.


Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.

Kebijakan Diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.

Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.

Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.

Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Ikhtisar
- Pesantren berpengalaman dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat.
- Pemerintah harus lebih memedulikan pesantren demi kemaslahatan umat.
Reactions: 

Links to this post

SEKOLAH SEBAGAI PERADABAN MASA DEPAN



SEKOLAH SEBAGAI  PERADABAN MASA DEPAN
(Implementasi Budaya Pluralistik, Inklusif dan Kontekstual  
Intelligent School pada masa SMA)
 By : Muhammad Yakhsya

Manusia terlahir dengan segala potensi yang dimiliki dan karakteristik yang khas, potensi dan karakteristik tersebut terlahir tidak akan sama persis dengan manusia lainnya, hanya satu kesamaannya yaitu manusia terlahir sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Hakikat manusia dengan keberagaman tersebut sudah sepantasnya menjadi dasar pembangun dalam segala aspek, tidak terkecuali pendidikan.
Sekolah sebagai tangan-tangan peradaban masa depan, harus mampu menjadi wadah dalam mengelola serta mempersiapkan sumber daya yang memiliki pengetahuan yang cerdas dan memiliki nilai-nilai yang positif, serta memiliki karakteristik Excellent Personallity (kepribadian unggul).

Kenyataan yang berkembang di Indonesia, umumnya sekolah belum begitu mampu menerapkan atau bahkan menghargai perbedaan yang ada di masyarakat sehingga semakin pesatnya konflik yang bersumber dari perbedaan agama, ras, suku, ide, politik dan lain-lain. Kenyataannya sekarang masih jarang ditemukan sekolah yang mampu menempatkan keberagaman sebagai pondasi dalam mewujudkan pendidikan yang bernilai.
Pengembangan budaya pluralistik, inklusi ataupun kontekstual harus mampu dikembangkan di sekolah. Arah dan pandangan tersebut mampu dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sekolah bukan saja mampu mengontrol pengetahuan yang dimiliki siswa, tetapi sekolah harus mampu mengontrol nilai-nilai yang ada pada siswa.
Dalam kontek perubahan, pendidikan memegang peranan yang sangat penting sekali. Pendidikan sebagai kontrol perubahan, penyuplai bahan bakar perubahan (SDM) dipadukan dengan keterikatan nilai-nilai akan menjadikan sebagai pendidikan masa depan dan persekolahan khususnya sebagai tangan-tangan peradaban masa depan.

Untuk lebih lengkapnya yakhsyam@gmail.com