Tuesday 20 May 2014

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

. .
Artikel Pendidikan : Artikel Psikologi Pendidikan

Pendidikanadalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Sedangkan Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
Mendorong Tindakan-tindakan Belajar

Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis 

Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis 

Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian 

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologimenunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan 

Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan 

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang  telah diberikan. 

2.4. Berfikir
 

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah
 proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.

2.5. Motif 

Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.
Kata Kunci :
artikel psikologi pendidikan,artikel tentang psikologi pendidikan,artikel tentang psikologi,jelaskan tentang kaitan psikologi dengan pendidikan,perolehan informasi pengetahuan melalui penglihatan




Sunday 18 May 2014

MANFAAT MENULIS

Manfaat Menulis Di Kertas

MUHAMMAD YAKHSYA,S.Pd

Pendidikan » Menulis di kertas, mungkin dianggap kuno dan jadul jika dibandingkan dengan laptop atau desktop. Sekarang memang era digital. Semua dikerjakan dengan perangkat berbasis digital. Sehingga jika ada orang yang menggunakan cara dan alat lama maka akan dicap sebagai jadul dan ketinggalan jaman.

Ternyata, menulis di kertas memiliki manfaat yang sangat besar jika diandingkan dengan mengetik di komputer. Dan manfaat menulis di kertas tersebut adalah memperkuat daya ingat  serta kemampuan memahami konsep.

Berasarkan hasil penelitian terbaru yang dirilis dalam jurnal Psychological Science, menulis dengan menggunakan pulpen dan kertas ternyata lebih meningkatkan kualitas belajar jika dibandingkan dengan menggunakan laptop.

Kesimpulan lain dari penelitian tentang manfaat menulis di kertas adalah bahwa menulis merupakan cara yang baik untuk menyimpan gagasan dalam jangka waktu yang panjang. Manfaat menulis di kertas yang lainnya adalah dapat menguatkan proses belajar yang lebih baik dengan mengetik.

Penelitian tentang manfaat menulis di kertas dilakukan dua orang psikolog dari Princeton dan Universitas California, Los Angeles, Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer. Dua psikolog tersebut menguji efek menulis di kertas yang dilakukan mahasiswa dalam dua seri percobaan.

Mahasiswa dibagi dalam dua kelompok. Mereka disuruh mendengarkan materi kuliah dari dosen yang sama. Selanjutnya, mereka diperintahkan juga menyimpan hal-hal penting selama perkuliahan dengan menggunakan berbagai strategi yang mereka suka.

Setelah satu setengah jam, mahasiswa diuji soal materi kuliah. Dan hasilnya adalah mahasiswa yang menggunakan laptop lebih "miskin" soal ide. Mereka lebih banyak menghasilkan catatan, tetapi hanya berupa salinan persis kata demi kata (verbatim) atau "transkrip tanpa otak".

Dan mahasiswa yang menulis di kertas menggunakan pulpen didapat hasil yang jauh lebih baik dalam kualitas belajar.

Jelaslah bahwa manfaat menulis di kertas sangat besar. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menulis di kertas merupakan cara yang tepat untuk menyimpan dan mengendapkan ide gagasan dalam jangka waktu lama.


Penelitian lain tentang Manfaat menulis di kertas


Jika mendasarkan pada penelitian lain yang dipublikasikan Intech tentang manfaat menulis di kertas, ditemukan bahwa menulis dengan tangan akan memberikan kesempatan kepada otak manusia untuk menerima umpan balik atau feed back.

Manfaat menulis di kertas tersebut tidak akan terjadi pada orang yang menggunakan papan ketik (keyboard) untuk menulis.

Logika dari manfaat menulis di kertas adalah bahwa pergerakan yang terjadi ketika menulis dengan tangan akan meninggalkan memori (daya ingat) pada bagian sensormotor otak. Hal tersebutlah yang membantu orang mengenal huruf dan membangun korelasi antara membaca dan menulis. 

PENDIDIKAN KARAKTER



“Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap bisa menggambarkan kualitas siswa dengan menafikan potensi lain”
BEBERAPA waktu lalu sering kita saksikan pada layar televisi iklan propaganda KPK tentang seseorang yang sewaktu kecil suka bohong akhirnya masuk penjara karena korupsi. Secara sekuel dikisahkan, ada tokoh bernama Adi yang suka bohong semasa kecil, suka menyontek ketika ujian sekolah, berselingkuh waktu pacaran, menyogok polisi ketika terkena razia, akhirnya masuk penjara KPK karena korupsi.

Sebenarnya banyak modus curang yang dapat diklasifikasikan menyontek saat ujian. Dari yang paling vulgar, yakni membuka buku, membuat krepekan di kertas kecil yang dilipat atau digulung, membuat ìtatoî di lengan tangan berisi rumus-rumus, melihat jawaban teman, hingga memanfaatkan perangkat elektronik semacam telepon seluler.
Jadi menyontek itu sebenarnya perlu persiapan dan kreativitas. Menyontek itu juga perlu trik dan strategi supaya tidak ketahuan guru atau pengawas. Selain itu, perlu nyali  karena anak yang belum pernah menyontek akan gugup dan gelisah sampai keluar keringat dingin ketika hendak membuka krepekan.
Celakanya, dari pengelola pendidikan juga belum ada tindakan berarti untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus siswa menyontek. Bahkan telah menjadi rahasia umum ada sekolah tertentu membentuk tim sukses untuk membantu siswa menjawab soal ujian dengan berbagai cara tidak terpuji.
Di sisi lain sanksi yang diberikan kepada siswa yang menyontek pun juga tidak tegas. Kalau pun ada anak ketahuan menyontek, sanksinya terbilang longgar dengan alasan anak hanyalah korban sebuah sistem, kasihan dan alasan  permisif  lain. Padahal di sekolah luar negeri, menyontek atau bahasa Inggrisnya cheating  adalah pelanggaran serius dari code of conduct yang sanksi akademiknya sangat tegas sampai dengan pemecatan dari sekolah.
Perilaku mencontek dilakukan anak karena ada niat dan kesempatan. Niat dalam definisi sederhana adalah dorongan atau motif melakukan sesuatu. Mengapa niat menyontek  itu muncul? Inilah yang perlu diketahui oleh guru dan orang tua sebelum melakukan langkah preventif.  Saya bukan psikolog, tetapi berdasarkan pengalaman saya yang pernah menjadi guru di SMP/SMA hingga sekarang mengajar di perguruan tinggi setidak-tidaknya dapat mengenali beberapa motif anak menyontek.
Pertama; anak tidak siap. Ketidaksiapan ini juga bermacam sebab, misal pemberitahuan ulangan dari guru mendadak sehingga siswa tidak punya cukup waktu untuk belajar. Akhirnya ia menempuh jalan pintas, menyontek. Atau karena cakupan materi ulangan terlalu banyak sehingga banyak yang harus dihafal. Beban belajar yang terlalu banyak mendorong anak berupaya menyelamatkan diri dari impitan beban. Dalam bahasa psikologi perilaku semacam ini disebut mekanisme pertahanan diri. Pola belajar yang tidak teratur mengakibatkan terakumulasinya materi pelajaran yang makin membebani anak tersebut sehingga ia menempuh jalan pintas.
Kedua; alasan prestasi. Ada anak yang ingin prestasinya gemilang karena motif tertentu yang bersifat ekstrinsik. Misal dia sudah telanjur dicap anak pandai, baik di lingkungan keluarga maupun teman-temannya. Atau ia diiming-iming hadiah bila prestasinya bagus dalam ujian. Motif meraih ”reward”  inilah yang mendasari dia menempuh segala cara.
Ketiga; solidaritas teman. Perilaku menyontek bisa berasal dari pengaruh teman. Anak yang tidak menyontek ketika teman-teman lain melakukannya dicap sok suci, tidak solider dan bisa-bisa dikucilkan teman. Di sinilah fungsi guru amat diperlukan, terutama wali kelas. Kejujuran harus ditanamkan dari awal, membuat semacam kontrak kesepakatan antara guru dan siswa sebelum pelajaran dimulai pada awal semester.
Menutup peluang praktik menyontek dalam ujian telah dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan dalam konteks UN kemungkinan adanya kebocoran soal dan praktik curang diantisipasi dengan pengamanan superketat. Dengan 20 varian soal yang ber-barcode dalam satu kelas (saya kira ini rekor dunia), dijaga oleh 2 pengawas dengan prosedur standar  pengawasan yang jelas, rasanya tidak mungkin terjadi kecurangan. Faktanya tetap saja ada rumor kebocoran soal.
Untuk mengeliminasi kecurangan dalam ujian saya kira faktor siswa sebagai pelaku ujian itu yang pertama-tama harus dibenahi. Kata kuncinya adalah pendidikan karakter. Bisa jadi selama ini pendidikan hanya diarahkan mengajarkan pengetahuan yang mengandalkan ranah kognitif yang capaiannya mudah diukur dan kemudian dikenali lewat angka-angka dalam rapor.
Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap mampu menggambarkan kualitas diri seorang siswa dengan menafikan potensi lain. Ini sama saja kita mengingkari  kodrat anak sebagai ciptaan Tuhan yang masing-masing punya talenta berbeda. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang format ujian nasional bila masih akan terus diberlakukan.
Bentuk soal pilihan ganda telah membuka peluang berbuat curang dengan gampang. Di samping itu, tipe soal tersebut tidak mungkin  mengukur kemampuan anak secara komprehensif, meliputi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Capaian pembelajaran bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga keterampilan dan terlebih sikap dan perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.


Thursday 30 January 2014

Kecerdasan Emosional Dalam Belajar




Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.

Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar atau mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.

Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002: 273)

Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002: 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 1998: xvii)

Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 1998: 250)

Siswa bukanlah benda mati yang hanya bergerak bila ada daya dari luar yang mendorongnya, melainkan mahluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak yaitu motivasi. Dengan adanya motivasi, manusia kemudian terdorong unutk melakukan suatu tindakan atau perilaku, yang termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk berprestasi tinggi di dalam belajar. (Irwanto, 1997: 184)

Arden N. Fardesen mengatakan bahwa hal yang mendorong seorang untuk belajar adalah:
a. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amant luas.
b. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
d. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koprasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar. (Suryabrata, 1998: 253)

Keenam poin tersebut adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa. Bila seorang siswa mampu mengaturnya dengan baik, hal tersebut menunjukan kecerdasan emosional yang baik dan akan memberikan sumbangan yang besar terhadap prestasi baiknya dalam belajar. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka siswa akan terhambat dan menhalami kesulitan dalam belajar.

Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sebaliknya siswa yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur emosi mereka.



Sebagai insan yang berada di sebuah lembaga pendidikan, apalagi Sekolah Menegah Kejuruan yang notabene siswanya adalah laki-laki menghadapi siswa “nakal” adalah hal yang biasa. Mulai dari siswa yang sering terlambat atau bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas/ PR, ribut di kelas, jajan saat jam pelajaran, tidak sholat, dan masih banyak contoh “kenakalan” lain yang kerap dilakukan siswa. Hal-hal tersebut memang benar-benar menguji kesabaran kita. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan tingkat tinggi.

Sebenarnya apakah benar ada anak diberi label “nakal”? Penulis sendiri tidak setuju bila ada siswa yang dilabeli “nakal”. Apalagi tidak sedikit guru yang memberi label “nakal” apabila ia merasa tidak sanggup mengendalikan siswanya. Di sisilain ukuran “nakal” tiap guru berbeda-beda. Sebagian guru akan menganggap siswanya “nakal” bila siswanya tidak mengerjakan PR, guru lain berpendapat siswa yang sering bolos/ tidak masuk sekolah adalah siswa yang “nakal”, sebagian lainnya menganggap siswa yang ribut saat pembelajaran adalah siswa yang “nakal”.

Menurut saya tidak ada yang namanya siswa “nakal”, yang ada adalah;
  • Siswa yang krisis identitas. Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan siswa terjadi karena siswa gagal mencapai masa integrasi kedua.
  • Siswa yang memiliki kontrol diri yang lemah. Siswa yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku “nakal”. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
  • Siswa yang kurang kasih sayang orang tua. Orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan menyebabkan kurang perhatian kepada anaknya. Tidak mengenalkan dan mengajarkan norma-norma agama kepada anaknya. Akibatnya dia akan sering bolos atau terlambat sekolah. Saat di sekolah ia akan berulah macam-macam untuk mendapat perhatian dari orang lain, termasuk kepada gurunya.
  • Siswa yang kedua orang tuanya tidak harmois atau bahkan bercerai. Suasana di rumah yang tidak nyaman akan menyebabkan anak tidak fokus saat pelajaran. Kedua orang tua yang seharusnya melidungi dan memberi contoh yang baik justru menjadi akar permasalahan anaknya.
  • Siswa yang menjadi “korban” dari saudara atau teman sepermainannya. Tipe anak seperti ini akan melakukan hal yang sama pada anak lainnya karena ia adalah ‘korban’ dan berusaha untuk membalas dendam.
  • Siswa yang mendapat tekanan dari orang tua. Tekanan ini bisa berupa tuntutan orang tua yang terlalu tinggi akan prstasi anaknya di sekolah atau peraturan di rumah yang terlalu ketat/ mengekang. Akibatnya bisa bermacam, siswa bisa pendiam tapi juga bisa “nakal” karena merasa ingin bebas.
  • Siswa yang mengalami kekerasan dalam lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya masalah ekonomi. Siswa yang mengalami kekerasan di rumah, maka saat di sekolah ia akan menunjukkan sikap memberontak kepada gurunya atau bahkan melakukan kekersaan seperti apa yang ia alami.
  • Siswa yang salah bergaul. Lingkungan memang sangat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sikap siswa. Pergaulan yang kurang tepat atau menyimpang salah bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.
Itulah beberapa sebab mengapa siswa berperilaku “nakal” saat di sekolah. Saat kita tahu latar belakang masalah perikau murid kita, tentunya kita akan merasa iba dan kasihan. Oleh karena itu mari kita sebagai pendidik mulai untuk menghentikan label negatif kepada siswa.

Beberapa tips di bawah ini bisa kita coba untuk mengatasi perilaku siswa yang “nakal”, adalah:
  1. Berdo’a untuk anak terebut. Ucapkan namanya setiap kita berdo’a. Berharaplah apa yang kita minta akan dikabulkan Allah dan saat kita menghadapinya Allah mengkaruniakan kesabaran pada diri kita. Yakinlah dia akan berubah, karena keyakinan itu adalah doa. Dia pasti berubah, entah itu besok, lusa, atau kapanpun.
  2. Carilah info yang lengkap tentang siswa yang dianggap “nakal”. Tujuannya adalah agar kita lebih paham tentang latar belakanngya. Harapanya kita akan lebih bisa bersabar dan pengertian dalam menangani perilakunya.
  3. Hentikan ucapan atau label “nakal” pada siswa tersebut. Kita tahu ucapan adalah do’a. jika kita mengucapakan kata nakal, secara tidak langsung kita berdo’a agar dia menjadi nakal. Katakanlah yang baik-baik untuknya, walau bagaimana pun perilaku dan perkataannya.
  4. Panggilah dia ke runag BK atau masjid. Ajaklah dia berbicara empat mata dan dari hati ke hati. Tanyakanlah kepada siswa tersebut tentang harapannya, permasalahannya, atau sebab dia berbuat “nakal”. Dengan hal ini kita jadi lebih tahu tentang dirinya dan permasalahan yang sedang ia hadapi. Pada akhirnya, berilah ia solusi, motivasi dan arahan.
  5. Latilah dia dengan rasa tanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan dengan kita memberikan dia kepercayaan. Contoh: menjadi muadzin, mengumpulkan kas kelas, membantu kita merekap buku tabungan, atau dengan melibatkan dia dalam kegiatan OSIS dan ROIS (meskipun dia bukan penggurus OSIS dan ROIS). Hal ini akan membuat dia merasa dibutuhkan dan diperhatikan. Tujuan akhirnya adalah agar dia tahu mana hak dan kewajibannya/ tanggung jawabnya sebagai siswa.
  6. Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. Maka, tergurlah dengan pelan-pelan dan jangan dibentak atau dimarahi. Karena siswa tipe seperti ini tidak akan berubah bila dimarahi. Mereka butuh didekati, diperhatikan, dan diajak berdiskusi, serta berilah mereka motivasi agar bisa berubah menjadi lebih baik. Katakan pada mereka “saya yakin kamu bisa lebih baik lagi dari kamu yang sekarang”. “saya akan merasa bangga bila kamu bisa lebih baik dari kamu yang sekarang”.
  7.  Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. janganlah diberikan hukuman fisik, seperti push up, set up, atau jalan jongkok. karena, hal ini justru akan menimbulkan rasa dendam dan jiwa melawan/ membangkang pada siswa. Tapi berikanlah dia hukuman seperti sholat dhuaha atau membaca Al-Qur'an.
  8. Buatlah perjanjian bila siswa tersebut berbuat “nakal”. Rekamlah dengan HP dan suruhlah dia mengucapkan janji agar tidak mengulangi perbuatannya. Bila dia mengulangi lagi, panggillah siswa tersebut dan putarlah rekamannya.
  9. Berilah dia pilihan. Berbuat baik konsekuensinya baik atau berbuat “buruk” konsekuensinya buruk.
  10. Bila siswa tersebut berbuat baik. Maka, pujilah dia. Pujian kita akan mebuat dia merasa bahwa usahanya dihargai dan diperhatikan oleh orang lain.
Itulah sedikit tips dari penulis. Semoga dapat memberikan manfaat. Prinsipnya adalah tidak ada siswa yang “nakal”. Yang ada adalah siswa kurang perhatian dan salah bergaul. Percayalah mereka bisa berubah. Perubahan itu akan bisa terjadi bila dimulai dengan strategi dengan menggunakan pendekatan hati. Bisa melalui tangan kita, atau mungkin tangan orang lain. 
Semoga bermanfaat dan selamat mencoba ................................