Tuesday, 20 May 2014

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

. .
Artikel Pendidikan : Artikel Psikologi Pendidikan

Pendidikanadalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Sedangkan Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
Mendorong Tindakan-tindakan Belajar

Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis 

Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis 

Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar, jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian 

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologimenunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan 

Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan 

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang  telah diberikan. 

2.4. Berfikir
 

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah
 proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.

2.5. Motif 

Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.
Kata Kunci :
artikel psikologi pendidikan,artikel tentang psikologi pendidikan,artikel tentang psikologi,jelaskan tentang kaitan psikologi dengan pendidikan,perolehan informasi pengetahuan melalui penglihatan




Sunday, 18 May 2014

MANFAAT MENULIS

Manfaat Menulis Di Kertas

MUHAMMAD YAKHSYA,S.Pd

Pendidikan » Menulis di kertas, mungkin dianggap kuno dan jadul jika dibandingkan dengan laptop atau desktop. Sekarang memang era digital. Semua dikerjakan dengan perangkat berbasis digital. Sehingga jika ada orang yang menggunakan cara dan alat lama maka akan dicap sebagai jadul dan ketinggalan jaman.

Ternyata, menulis di kertas memiliki manfaat yang sangat besar jika diandingkan dengan mengetik di komputer. Dan manfaat menulis di kertas tersebut adalah memperkuat daya ingat  serta kemampuan memahami konsep.

Berasarkan hasil penelitian terbaru yang dirilis dalam jurnal Psychological Science, menulis dengan menggunakan pulpen dan kertas ternyata lebih meningkatkan kualitas belajar jika dibandingkan dengan menggunakan laptop.

Kesimpulan lain dari penelitian tentang manfaat menulis di kertas adalah bahwa menulis merupakan cara yang baik untuk menyimpan gagasan dalam jangka waktu yang panjang. Manfaat menulis di kertas yang lainnya adalah dapat menguatkan proses belajar yang lebih baik dengan mengetik.

Penelitian tentang manfaat menulis di kertas dilakukan dua orang psikolog dari Princeton dan Universitas California, Los Angeles, Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer. Dua psikolog tersebut menguji efek menulis di kertas yang dilakukan mahasiswa dalam dua seri percobaan.

Mahasiswa dibagi dalam dua kelompok. Mereka disuruh mendengarkan materi kuliah dari dosen yang sama. Selanjutnya, mereka diperintahkan juga menyimpan hal-hal penting selama perkuliahan dengan menggunakan berbagai strategi yang mereka suka.

Setelah satu setengah jam, mahasiswa diuji soal materi kuliah. Dan hasilnya adalah mahasiswa yang menggunakan laptop lebih "miskin" soal ide. Mereka lebih banyak menghasilkan catatan, tetapi hanya berupa salinan persis kata demi kata (verbatim) atau "transkrip tanpa otak".

Dan mahasiswa yang menulis di kertas menggunakan pulpen didapat hasil yang jauh lebih baik dalam kualitas belajar.

Jelaslah bahwa manfaat menulis di kertas sangat besar. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menulis di kertas merupakan cara yang tepat untuk menyimpan dan mengendapkan ide gagasan dalam jangka waktu lama.


Penelitian lain tentang Manfaat menulis di kertas


Jika mendasarkan pada penelitian lain yang dipublikasikan Intech tentang manfaat menulis di kertas, ditemukan bahwa menulis dengan tangan akan memberikan kesempatan kepada otak manusia untuk menerima umpan balik atau feed back.

Manfaat menulis di kertas tersebut tidak akan terjadi pada orang yang menggunakan papan ketik (keyboard) untuk menulis.

Logika dari manfaat menulis di kertas adalah bahwa pergerakan yang terjadi ketika menulis dengan tangan akan meninggalkan memori (daya ingat) pada bagian sensormotor otak. Hal tersebutlah yang membantu orang mengenal huruf dan membangun korelasi antara membaca dan menulis. 

PENDIDIKAN KARAKTER



“Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap bisa menggambarkan kualitas siswa dengan menafikan potensi lain”
BEBERAPA waktu lalu sering kita saksikan pada layar televisi iklan propaganda KPK tentang seseorang yang sewaktu kecil suka bohong akhirnya masuk penjara karena korupsi. Secara sekuel dikisahkan, ada tokoh bernama Adi yang suka bohong semasa kecil, suka menyontek ketika ujian sekolah, berselingkuh waktu pacaran, menyogok polisi ketika terkena razia, akhirnya masuk penjara KPK karena korupsi.

Sebenarnya banyak modus curang yang dapat diklasifikasikan menyontek saat ujian. Dari yang paling vulgar, yakni membuka buku, membuat krepekan di kertas kecil yang dilipat atau digulung, membuat ìtatoî di lengan tangan berisi rumus-rumus, melihat jawaban teman, hingga memanfaatkan perangkat elektronik semacam telepon seluler.
Jadi menyontek itu sebenarnya perlu persiapan dan kreativitas. Menyontek itu juga perlu trik dan strategi supaya tidak ketahuan guru atau pengawas. Selain itu, perlu nyali  karena anak yang belum pernah menyontek akan gugup dan gelisah sampai keluar keringat dingin ketika hendak membuka krepekan.
Celakanya, dari pengelola pendidikan juga belum ada tindakan berarti untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus siswa menyontek. Bahkan telah menjadi rahasia umum ada sekolah tertentu membentuk tim sukses untuk membantu siswa menjawab soal ujian dengan berbagai cara tidak terpuji.
Di sisi lain sanksi yang diberikan kepada siswa yang menyontek pun juga tidak tegas. Kalau pun ada anak ketahuan menyontek, sanksinya terbilang longgar dengan alasan anak hanyalah korban sebuah sistem, kasihan dan alasan  permisif  lain. Padahal di sekolah luar negeri, menyontek atau bahasa Inggrisnya cheating  adalah pelanggaran serius dari code of conduct yang sanksi akademiknya sangat tegas sampai dengan pemecatan dari sekolah.
Perilaku mencontek dilakukan anak karena ada niat dan kesempatan. Niat dalam definisi sederhana adalah dorongan atau motif melakukan sesuatu. Mengapa niat menyontek  itu muncul? Inilah yang perlu diketahui oleh guru dan orang tua sebelum melakukan langkah preventif.  Saya bukan psikolog, tetapi berdasarkan pengalaman saya yang pernah menjadi guru di SMP/SMA hingga sekarang mengajar di perguruan tinggi setidak-tidaknya dapat mengenali beberapa motif anak menyontek.
Pertama; anak tidak siap. Ketidaksiapan ini juga bermacam sebab, misal pemberitahuan ulangan dari guru mendadak sehingga siswa tidak punya cukup waktu untuk belajar. Akhirnya ia menempuh jalan pintas, menyontek. Atau karena cakupan materi ulangan terlalu banyak sehingga banyak yang harus dihafal. Beban belajar yang terlalu banyak mendorong anak berupaya menyelamatkan diri dari impitan beban. Dalam bahasa psikologi perilaku semacam ini disebut mekanisme pertahanan diri. Pola belajar yang tidak teratur mengakibatkan terakumulasinya materi pelajaran yang makin membebani anak tersebut sehingga ia menempuh jalan pintas.
Kedua; alasan prestasi. Ada anak yang ingin prestasinya gemilang karena motif tertentu yang bersifat ekstrinsik. Misal dia sudah telanjur dicap anak pandai, baik di lingkungan keluarga maupun teman-temannya. Atau ia diiming-iming hadiah bila prestasinya bagus dalam ujian. Motif meraih ”reward”  inilah yang mendasari dia menempuh segala cara.
Ketiga; solidaritas teman. Perilaku menyontek bisa berasal dari pengaruh teman. Anak yang tidak menyontek ketika teman-teman lain melakukannya dicap sok suci, tidak solider dan bisa-bisa dikucilkan teman. Di sinilah fungsi guru amat diperlukan, terutama wali kelas. Kejujuran harus ditanamkan dari awal, membuat semacam kontrak kesepakatan antara guru dan siswa sebelum pelajaran dimulai pada awal semester.
Menutup peluang praktik menyontek dalam ujian telah dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan dalam konteks UN kemungkinan adanya kebocoran soal dan praktik curang diantisipasi dengan pengamanan superketat. Dengan 20 varian soal yang ber-barcode dalam satu kelas (saya kira ini rekor dunia), dijaga oleh 2 pengawas dengan prosedur standar  pengawasan yang jelas, rasanya tidak mungkin terjadi kecurangan. Faktanya tetap saja ada rumor kebocoran soal.
Untuk mengeliminasi kecurangan dalam ujian saya kira faktor siswa sebagai pelaku ujian itu yang pertama-tama harus dibenahi. Kata kuncinya adalah pendidikan karakter. Bisa jadi selama ini pendidikan hanya diarahkan mengajarkan pengetahuan yang mengandalkan ranah kognitif yang capaiannya mudah diukur dan kemudian dikenali lewat angka-angka dalam rapor.
Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap mampu menggambarkan kualitas diri seorang siswa dengan menafikan potensi lain. Ini sama saja kita mengingkari  kodrat anak sebagai ciptaan Tuhan yang masing-masing punya talenta berbeda. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang format ujian nasional bila masih akan terus diberlakukan.
Bentuk soal pilihan ganda telah membuka peluang berbuat curang dengan gampang. Di samping itu, tipe soal tersebut tidak mungkin  mengukur kemampuan anak secara komprehensif, meliputi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Capaian pembelajaran bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga keterampilan dan terlebih sikap dan perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.